Hujan hanyalah tetes demi tetes air yang jatuh ke bumi. Tanpa harapan, tanpa kenangan, tanpa kesan romantis yang dulu kita rayakan dengan puisi dan senyum penghayatan.
Sudah terlalu lama hadirmu mengganggu ruang sunyi sendiriku. Merampas waktu lelapku. Menjelma hantu di pagi yang tenang. Mencipta mendung di siang yang lengang. Tidakkah kau lelah?
Suatu hari nanti, mungkin kamu akan menyesalinya: hal yang kamu lakukan, hal yang tak kamu lakukan.
Suatu hari nanti, mungkin kamu akan merindukannya: mereka yang kamu tinggalkan, mereka yang kamu lepaskan.
Tapi, masa depan ditakdirkan untuk jadi misteri. Kita hanya bisa melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan hari ini, sambil berdoa semoga semuanya baik-baik saja.
Aku melihat derita kesedihan di bola matamu. Hujan yang tak kunjung reda. Mawar yang layu menanti gugur.
Aku ingin bertanya, Rania. Apa arti kebahagiaan bagimu? Adakah kehadiran seorang kekasih, sungguh bisa jadi batu pijakan untuk meraihnya? Ataukah itu hanya balas dendam kehilangan yang menderamu di masa lalu?
Dunia ini penuh tipu daya, Rania. Kita perlu cermat memilah beban: mana yang harus dipikul, mana yang selayaknya dilepaskan. Abaikan indah fatamorgana, temukan oase yang sesungguhnya.
Dan berhentilah, Rania. Berhenti meletakkan garis takdirmu di telapak tangan orang lain.
***
Setelah mengalami patah hati hebat, Rania bertemu Tama, lelaki misterius yang membuka toko buku kecil di seberang rumahnya.
Tak butuh waktu lama bagi Rania untuk memasukkan toko itu ke daftar kunjungannya setiap sore. Tama tak hanya piawai membicarakan sastra, tetapi juga pendengar setia bagi cerita-cerita Rania. Lalu di antara halaman-halaman buku, benih cinta pun tumbuh dengan sedikit ragu.
Festival Hujan adalah kisah tentang hujan, buku, dan upaya seorang gadis lugu menemukan bahagia di tengah dunianya yang jauh dari sempurna.
Kalau kamu membaca tulisan ini, saya asumsikan kamu ingin jadi penulis. Atau sudah jadi penulis, tetapi ingin tahu seluk beluk menerbitkan buku sendiri. Bahasa kerennya, self-publishing.
Sejak 2013, menulis adalah profesi saya. Selama hampir tujuh tahun terakhir, saya sudah menulis dan menerbitkan 13 judul buku. Mereka terdiri dari novel, memoar, dan antologi prosa. Berikut judul-judul tersebut:
Bukankah royalti sebagai penulis kecil? Bagaimana bisa menjadikannya pekerjaan utama?
Royalti penulis umumnya 10%. Kecil atau besar, tergantung laku berapa eksemplar. Itu aturan yang berlaku jika kamu menerbitkan buku di penerbit mayor.
Jika kamu menempuh jalur self-publishing, kamu menentukan royaltimu sendiri.
Tetapi, bukankah menerbitkan buku sendiri itu repot?
Saat Allah menakdirkan hatimu terluka oleh seseorang, kamu perlu curiga bahwa Allah juga sudah menakdirkan seseorang yang lain untuk membantumu sembuh.
Manakala ia datang, sambutlah dengan gembira. Namun, ketika ia mendekat dan menawarkan diri untuk membalut lukamu, katakan, “Aku akan menyembuhkannya sendiri, dan ini butuh waktu. Setelah aku pulih, aku siap dengan kehidupan baru denganmu.“
Ketika hidup bersama dengan seseorang, kamu harus mengapresiasi kelebihannya sekaligus menerima setiap kekurangannya. Tetapi, tak cukup sampai di sana. Kamu dan dirinya harus berkomitmen untuk terus bertumbuh, agar hidup tak jua menyentuh titik jenuh.
Genggam tangannya, berjalanlah bersama dan nikmati aneka petualangan baru yang menanti. Tataplah masa depan dengan mata yang menyala dan tetaplah berbaik sangka atas setiap kepastian-Nya.
Ketika hidup bersama dengan seseorang, kamu harus ingat bahwa menyampaikan kebaikan di waktu yang tidak tepat itu tidak baik. Ada waktu ketika yang dibutuhkan teman hidupmu hanyalah telinga untuk mendengar dan bahu untuk bersandar. Ada waktu ketika yang dibutuhkan teman hidupmu hanyalah ruang untuk merenung dan menangis sendiri.
Hidup ini penuh dengan ketidaksempurnaan, sebab itu butuh banyak pemakluman.
Ketika hidup bersama dengan seseorang, kamu bukan cuma harus memahami kata-katanya saat bicara. Kamu juga perlu mengerti arti diamnya. Kadang, ada pesan-pesan penting yang disampaikan justru dengan diam.
Tak selamanya luka berdarah, tak selamanya tangis berair mata. Bersikaplah lebih peka.
Ketika hidup bersama dengan seseorang, setiap masalah yang hadir adalah sarana untuk saling menguatkan. Setiap takdir yang mampir adalah kesempatan untuk mencipta kenangan yang berkesan. Kelak setelah menua, momen-momen itu ‘kan jadi alasan untuk terus bersama. Atau semacam pengingat, betapa hidupmu akan berbeda jika dilalui tanpanya.
Sejak dulu sekali, patah hati telah menjadi sebuah pandemi.
Begitu banyak manusia, barangkali termasuk kita, jatuh cinta pada seseorang yang tak pernah bisa dimiliki. Dan seringkali, hal itu terjadi begitu saja. Di luar kendali, tanpa antisipasi sama sekali.
Entah karena terlalu lemah, atau merasa seseorang itu memang tak mungkin diperjuangkan, kita memilih untuk jatuh cinta diam-diam saja. Memerhatikannya dari jauh, mengamati dalam sunyi. Lalu dengan sok bijak, kita berkata dalam hati, “Beberapa hal memang lebih baik tak terucap. Biar tetap jadi rahasia. Nyala lilin yang dijaga dari tiupan angin.”
Sering kali kita berusaha tak peduli. Tetapi, bisa memastikan bahwa ia baik-baik saja, tetap saja lebih menentramkan hati. Dan saat mendengar kabar bahwa Continue reading Kado yang Tak Boleh Dibuka
Saat hidup berjalan sesuai rencana, saat salah satu target hidup tercapai, ketika satu dari sekian mimpi dapat diwujudkan, kita menepuk dada. Dengan penuh dramatisasi, kita akan bercerita betapa kita telah berjuang keras untuk mendapatkannya. Dengan yakin, kita menjelaskan strategi-strategi jitu yang kita jalankan untuk menggapainya. Biar orang-orang kagum dan terinspirasi.
Namun, saat kita menghadapi kegagalan, saat target kita jauh panggang dari api, ketika mimpi tak jua terwujud nyata, kita menyalahkan dunia. Dengan terampil, kita menunjuk berbagai pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan itu. Dengan fasih, kita menjabarkan berbagai fenomena eksternal yang menghambat kita untuk menggapai keberhasilan.
Atau, kita tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi berupaya menipu diri sendiri dengan kebohongan yang manis. Bahwa sejak awal kita tak benar-benar menginginkannya. Seperti seorang pemancing yang berusaha mendapatkan ikan sebesar paha tetapi setelah seharian memancing yang ia dapatkan cuma ikan seukuran pergelangan tangan lalu berkata kepada diri, “Aku memang mengincar ikan ini. Ikan kecil lebih mudah dibawa dan dimasak. Juga, biasanya lebih enak.”
Menyalahkan orang lain dan menipu diri berbagi satu karakter yang sama: keengganan untuk mengakui kesalahan pribadi.